Senin, 16 November 2009

Diberkati Untuk Menjadi Berkat

ZAMAN ini tepat seperti yang digambarkan oleh Paulus dalam 2 Timotius 3:2: zaman uang. “Manusia akan menjadi hamba uang,” tegas Paulus. Ya, kecintaan akan uang memang telah menggilas habis nurani banyak orang. Dalam surat yang sebelumnya kepada Timotius, Paulus juga telah menyinggung hal ini. Dalam 1 Timotius 6:10, dia berkata: Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Sebuah kenyataan yang menggelisahkan.

Idealisme nyaris tak tersisa, bahkan jika ada yang memilikinya sering kali dianggap bodoh, tidak realistis, melepas kesempatan emas, dan berbagai penilaian lainnya. Orang tak segan-segan menjual kebenaran demi uang. Hati nurani secara perlahan tapi pasti, teriris habis. Dengan mudah kita menemukan pertengkaran hingga permusuhan karena uang. Bahkan kasus pembunuhan bermotif uang semakin meninggi jumlahnya. Pertalian darah dengan mudah bisa “putus” karena harta warisan yang juga sama dengan uang. Wajah dunia makin hari makin menyedihkan, tak lagi mampu memancarkan kemurnian yang murni. Kehidupan terus berubah, penuh basa-basi, semakin kehilangan arti kasih yang sejati, karena semua bisa dibeli. Orang kini bisa membeli senyuman, bahkan “perkawinan” hingga “pernikahan”. Semboyan asal ada uang semua bisa datang, semakin mendapat pembenaran dalam kenyataan. Namun yang paling menyedihkan adalah runtuhnya tembok keimanan.

Iman, yang seharusnya membuat manusia beriman berdiri teguh di tengah badai godaan uang, ternyata, juga turut mengalami goncangan. Banyak orang “beriman” kini tak lagi menyukai iman. Iman dianggap menyingkirkan diri dari pergaulan zaman. Orang tak dihargai karena beriman, melainkan karena beruang, begitu sinis yang muncul. Di lingkungan rohani virus ini terus menyebar luas. Ironis. Kini ada guyonan pahit: Jika berbisnis bukalah gereja, dijamin tak rugi, bahkan terkesan suci. Mengapa? Karena ternyata banyak “petinggi gereja” yang memang berbisnis dalam membuka gereja. Jabatan “pendeta” menempel tanpa pernah jelas dari mana asalnya, dan bagaimana bisa meraihnya. Pemahaman theologi tak ada, berkhotbah tak pernah, yang ada hanya kata bagaikan mantera, “Roh Tuhan berbicara pada saya…” Visi diungkapkan seakan datang dari surga untuk digarap di Bumi. Namun jika dicermati, hati tersentak karena semua bermuara pada sang pendeta.

Yang lain mungkin sedikit lebih baik dalam kemampuan. Sekalipun tak memiliki pemahaman theologi, namun karena fasih lidah sang pendeta berkhotbah. Yang dikisahkan selalu yang meninabobokkan umat. Sukses yang semu dikumandangkan dalam apa yang disebut kesaksian, sementara kebenaran sebagai buah hidup orang percaya, nyata-nyata, tak tampak. Pendekatan emosi selalu menjadi pola karena sukses mendulang hasil. Lagi-lagi ungkapan rohani: “sentuhan Roh Kudus”, menjadi kata-kata sakti yang membutakan umat untuk tak lagi menguji segala sesuatu. Padahal Alkitab jelas berkata, “jangan padamkan Roh, namun ujilah segala sesuatu” (1Tes. 5:19, 21). Umat percaya habis, dan dana mengalir kencang. Tampaknya tak jelas berakhir di mana. Karena ada gedung gereja, aset gereja dan lainnya. Seakan pemakaian uang tampak nyata, namun ternyata, di balik semuanya tersisa masalah yang luar biasa. Aset atas nama pribadi pendeta, sering terungkap setelah pendeta tiada. Terjadilah tarik-menarik aset yang sungguh tak menarik sama sekali.

Yang sedikit lebih canggih, aset atas nama yayasan, atau bahkan gereja. Namun dalam akte notaris ternyata susunan pengurus didominasi oleh keluarga pendeta. Lagi-lagi untuk suara terbanyak, pengurus dan umat kecele. Tapi ada yang lebih halus lagi, seakan pengurus tidak didonimasi keluarga pendeta, namun ternyata bunyi klausul yang ada memberikan kekuasaan tak terbatas pada pendeta atau segelintir orang dekat pendeta, atas aset yang ada. Umat selalu berkata, itu urusan pendeta dengan Tuhan, dan tentu saja pendeta senang karena memang pemahaman itu yang ditabur untuk dituai. Umat telah digiring pada paham yang salah, sehingga tak lagi kritis, apalagi menguji sesuai kata Alkitab. Belum lagi ketakutan akan kutuk yang selalu ditebar, seperti “jangan mengganggu pendeta, karena dia adalah biji mata Tuhan”. Pengultusan dilakukan dalam waktu yang lama lewat indoktrinasi. Sayangnya, umat semakin teggelam dan gelap mata menghargai pendeta, sekalipun nyata-nyata salah. Apalagi jika lingkungan pelayanan diwarnai suasana dan ajaran yang mistis, dan lagi-lagi, obral kata-kata “kehendak Roh”.

Penguasaan pendeta atas umat, sudah tak bertepi. Nah, ketika pendeta kaya raya, maka alasannya sangat mudah: itulah bukti pendeta diberkati, pendeta beriman. Padahal kekayaan pendeta yang bertumpuk justru bukti ketidakpedulian pada yang susah. Banyak umat yang susah, apalagi dalam konteks Indonesia. Tidak salah pendeta memiliki mobil karena memang dia membutuhkannya. Namun jika mobil itu mewah dan jumlahnya yang berlebih, bukankah itu tak lazim? Pendeta harus memiliki rumah, karena dia dan keluarga memerlukannya. Tapi jika rumah itu mewah dan ukurannya wah, bagaimana mungkin dia bisa berkata, sangat peduli pada umat yang kebanyakan tak, atau, belum, memiliki rumah. Umat yang dimaksud tentulah orang percaya yang baik, di berbagai tempat secara merata. Terhadap berbagai hal ini, biasanya dengan mudah pula pendeta berkelit dan berucap, ini adalah pemberian umat juga. Mungkin dia benar. Hanya saja, mengapa umat memberi, itu tetap harus diuji. Jangan-jangan hasil indoktrinasi. Belum lagi, namanya “diberi”, apakah dia tak bisa menerima yang pas, sesuai kebutuhan, menolak yang berlebih, sehingga berkat bisa terdistribusi.

Dengan demikian juga menjadi pembelajaran bagi umat untuk saling menolong. Karena ada juga umat yang suka memberi pada pendeta ternyata pelit pada sesama. Mengapa? Anda pasti tahu alasannya. Ini adalah kenyataan yang menyedihkan. Sudah waktunya kita mengembalikan semuanya pada kebenaran. Gereja bukan kerajaan, sehingga yang ada suksesi keturunan, kekeluargaan, padahal tidak ada panggilan yang jelas. Sangat menyenangkan jika anak pendeta menjadi pendeta karena panggilan, tapi jangan dengan motivasi melanggengkan kekayaan. Jangan lagi terucap kalimat “pendeta harus kaya sebagai bukti diberkati”, karena yang benar adalah pendeta yang diberkati akan menjadi berkat bagi banyak orang. Jangan lagi menumpuk kekayaan untuk diri, karena Alkitab telah mengatakan, “adalah terlebih berkat memberi daripada menerima”. Bukankah “Doa Bapa Kami” yang antara lain berkata “Berilah kami makanan kami yang secukupnya”, nadanya sangat indah? Atau mungkin kita telah lupa pada apa yang diajarkan Yesus?

Biarlah para pebisnis hidup sesuai dunia mereka (pakaian, mobil dan rumah mewah sebagai bukti prestasi) dan pendeta di panggilannya (kejujuran, kesetiaan, kesederhanaan). Berpunya tapi tak berlebih, karena memilih fungsi bukan prestise. Mari menjadi pendeta, yang adalah gembala, tapi bukan upahan tentunya. Berani menyatakan kebenaran dan menjadi model dalam kehidupan. Selamat menjadi pak pendeta yang kaya rasa, bukan kaya harta. Semoga umat jeli mengamati dan membantu pendeta agar berada di jalurnya.

Kamis, 05 November 2009

Sangat Jengkel .......

Pada umumnya sebagian besar dari isi doa adalah permohonan kepada Bapa Disorga. Permohonan itu biasanya dimulai dari yang paling mudah; agar dosa-dosa kita diampuni s/d permohonan agar yang sudah mau mati sekarat pun bisa disembuhkan kembali.
Maklum manusia mana sih yang tidak punya problem mulai dari Presiden sampai dengan wong gembel semuanya sama. Mungkin hanya mereka yang sudah tidak bisa berpikir dengan sehat lagi seperti wong pikun atau yang sudah berada dirumah sakit jiwa yang sudah tidak memiliki problem lagi.
Seperti layaknya semua orang yang mengajukan permohonan; pasti ia mengharapkan jawaban entah itu jawaban YES or NO. Hanya sayangnya jawaban itu kandang-kadang sering molor dan sangat laaaa..amban sekali, bahkan terkadang pun tidak ada jawaban sama sekali. Hal inilah yang membuat Mang Ucup jadi jengkel, karena tidak sabaran lagi menunggu.
Tetapi mari kita renungkan jawaban mana yang paling baik bagi kita, apabila Tuhan menjawab: ”Doa permohonan engkau akan dikabulkan” ataukah sudah cukup apabila Ia menjawab “Aku mengasihi engkau”!
Mang Ucup pribadi lebih sering mefokuskan akan permohonan doanya daripada Tuhan-Nya sendiri. Yang penting Doa saya dikabulkan sedangkan urusan Tuhan itu adalah urusan nomor berikutnya begitu juga halnya dengan Marta dan Maria yang memberitahu kepada Tuhan Yesus bahwa saudara lelakinya Lazarus sakit. Yesus menjawab: “Penyakit itu tidak akan membawa kematian” (Yoh 11:4) Namun setelah itu bukannya Tuhan Yesus buruan mencari sang pasien yang membutuhkan uluran tangan-Nya, melainkan sengaja tinggal lebih lama dua hari lagi ditempat lain. (Yoh 11:6)
Cobalah Anda renungkan sendiri; pada saat dimana Anda memanggil Dr, karena ada anggota keluarga yang sakit keras, bukannya ia buruan datang, tetapi pergi jalan-jalan ke Bandung (tempat lain) dahulu. Bagaimana perasaan Anda? Akhirnya Lazarus mati sebelumnya Tuhan Yesus tiba ditempat. Hal inilah yang membuat Marta jadi jengkel : Tuhan sekiranya Engkau ada disini, saudaraku pasti tidak mati.(Yoh 11:32) Marta jadi jengkel, karena tidak sabaran, terlebih lagi, karena ia tidak percaya kepada janji-Nya. Mang Ucup sendiri sering mengalami hal yang sama seperti Marta, karena merasa permohonan doanya tidak digubris atau terlambat dijawabnya.
Apakah hanya manusia biasa seperti mang Ucup dan Anda saja yang bisa mempunyai perasaan jengkel ini? Tidak Tuhan Yesus pun pernah merasakan hal yang sama. Tuhan merasa jengkel, karena ketidak percayaan kita kepada-Nya. Jengkel, geram atau kesal. (Yoh 11:33; 11:38)Tuhan Yesus sendiri bersabda: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Elohim” (Yoh 11:40)
Pada umumnya kita baru percaya apabila permohonan kita dikabulkan. Jadi percaya itu timbul pada umumnya, karena kita tahu, bukannya percaya dahulu baru kita tahu. Dengan ini Mang Ucup lampirkan resep agar jangan cepat jadi jengkel.
Apakah Anda tahu bahwa Doa itu sungguh dapat mengubah segala sesuatu? Tidak yakin? Bacalah sendiri jawabannya.
Apakah doa dapat mengubah suatu keadaan secara tiba-tiba ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah cara kita memandang situasi tersebut!
Apakah doa mengubah kondisi keuangan kita dimasa depan ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah kepada siapa kita berharap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari!
Apakah doa mengubah hati yang hancur atau tubuh yang rusak ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah sumber kekuatan dan sumber penghiburan kita!
Apakah doa mengubah apa yang kita butuhkan dan inginkan ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah kebutuhan dan keinginan kita menjadi yang sesuai dengan keinginan TUHAN!
Apakah doa mengubah cara kita melihat dunia ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah dengan mata siapa kita akan melihat dunia!
Apakah doa mengubah penyesalan kita akan masa lalu ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah harapan kita dimasa depan!
Apakah doa mengubah orang-orang disekitar kita ? Tidak, tidak selalu, tetapi doa akan mengubah kita karena masalah tidak selalu terletak dalam diri orang-orang disekitar kita!
Apakah doa sungguh mengubah segala sesuatu ?
YA, DOA SUNGGUH MENGUBAH SEGALA SESUATU !
Amin
By.
Mang Ucup